BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak abad ke-1 Hijriah
atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai berkenalanan dengan
“tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar. Pengenalan ini
berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa tempat di
Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara adalah
dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di
Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).
Kehadiran Islam secara
lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi, yaitu dengan
adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada bulan Ramadhan 696
Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di Nusantara sudah
ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Para saudagar Muslim sudah
melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7 Masehi. Beberapa kerajaan Hindu
dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan dagang dan diplomatik dengan
kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti arkeologis yang mendukung
ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara komoditi
perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman” yang
berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.
Meskipun sebagian besar
masyarakat Indonesia menganut paham Sunni, namun pada prakteknya saat ini di
Sumatra dan Jawa menganut paham Syi‘ah. Data arkeologis menunjukkan bahwa Islam
yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui Gujarat, kemudian dibawa
oleh para saudagar ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Semenanjung Tanah
Melayu.
Sejak awal
perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena
Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang
kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam
dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai
konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai
konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition
(tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little
tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau juga
Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi besar (Islam)
adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-tidaknya
merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang
lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum
Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam.
Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang
dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi kecil (tradisi
local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang berada di
bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur
yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma,
aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan
masyarakat.
Dalam istilah lain proses
akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan apa yang
dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi
dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai
suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang
membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik
antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke
dalam budaya asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah
pada perkembangan budaya selanjutnya.
Sebagai
suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia ,
ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam
sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain
budaya-budaya local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran
Islam. Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat
warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”,
antara budaya local dan Islam.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Materi
yang akan dibahas didalam makalah ini adalah :
1. Proses
Masuk dan Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di Indonesia
2.
Perkembangan Islam di Indonesia Masa
Kerajaan-Kerajaan
3.
Perubahan
dan Kesinambungan Budaya
4.
Situasi dan kondisi politik dan pemerintahan
5.
Situasi dan kondisi sosial budaya
1.3. TUJUAN
Adapun tujuan dari
makalah ini adalah:
1.
Mengetahui bagaimana proses masuk dan berkembangnya
agama dan kebudayaan Islam di Indonesia.
2.
Mengetahui
perkembangan Islam di Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan
3.
Mengetahui
perubahab dan kesinambungan budaya
4.
Mengetahui
siuasi dan kondisi politik dan pemerintahan
5.
Mengetahui
situasi dan kondisi social budaya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PROSES MASUK DAN BERKEMBANGNYA AGAMA DAN
KEBUDAYAAN ISLAM DI INDONESIA
Islam masuk ke Indonesia akibat adanya perdagangan dan
pelayaran internasional. Pada saat itu, jalur perdagangan internasional Timur
Tengah-India-Malaka-Cina merupakan satu-satunya jalur perdagangan Asia yang
sangat ramai. Bersamaan dengan kesibukan perdagangan antarbangsa yang melewati
Indonesia itulah, Islam masuk ke Indonesia.
Islam masuk ke Indonesia ketika sebagian masyarakatnya sudah
memeluk agama Hindu atau Buddha, atau saat masyarakat masih memeluk kepercayaan
asli, atau bahkan saat Hindu-Buddha, dan kepercayaan asli bercampur saling
mempengaruhi. Namun yang jelas, Islam datang setelah Hindu dan Buddha masuk ke
Indonesia terlebih dahulu. Penyebaran pengaruh Islam yang berasal dari jazirah
Arab ke Asia dan benua lainnya, menimbulkan pusat-pusat agama Islam di kawasan
tersebut, yang berperan sebagai pusat pemerintahan dan peradaban, juga berperan
dalam penyebaran pengaruh Islam ke wilayah sekitarnya. Indonesia telah
mengadakan hubungan ekonomi, hubungan sosial, dan hubungan politik dengan
pusat-pusat Islam di Asia Selatan maupun pusat-pusat Islam lainnya.
Hubungan dalam bidang ekonomi sudah dilaksanakan sejak lama.
Lebih-lebih pada abad ke-7, dimana perdagangan begitu ramainya, terutama di
Selat Malaka. Sedangkan bandarbandar Indonesia berada di seputar Selat Malaka,
yang tentu saja sangat ramai dikunjungi pedagang mancanegara. Hasil hutan dan
rempah-rempah dari Indonesia turut diperdagangkan, bahkan merupakan barang
dagangan yang sangat laku. Hubungan dalam bidang sosial ditandai dengan adanya
interaksi sosial antara para pedagang muslim yang banyak bermukim di Indonesia
dengan masyarakat setempat. Adanya interaksi sosial inilah yang akhirnya
memberikan pengaruh masuknya nilai dan ajaran Islam sehingga semakin banyak
yang memeluk agama Islam. Hubungan dalam bidang politik terjalin setelah
kerajaan Islam berdiri di Indonesia pada abad ke-13 M, yaitu saat berdirinya
Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Hubungan Indonesia dengan pusat-pusat Islam lainnya pun
sudah sangat intensif. Selain dalam rangka membendung dominasi Portugis di
Selat Malaka, hubungan itu juga Nampak dari pusat-pusat perdagangan di Asia,
yang berhubungan dengan kerajaan Islam di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Kerajaan Samudra Pasai pun telah menjalin hubungan dagang dan politik
dengan Cina, India, dan Asia Barat.
Hubungan antara Indonesia dengan pusat-pusat perkembangan
Islam di Bagdad, Kairo, Kordoba, sudah terjadi sejak sebelum abad ke-15,
meskipun hubungan itu tidak langsung, tetapi melalui jalur-jalur perdagangan
yang sedang berkembang. Bandar-bandar yang paling ramai dikunjungi para
pedagang adalah bandar Gujarat dan Malaka. Bahkan Malaka merupakan Bandar
terbesar di Asia Tenggara. Malaka pun merupakan pintu gerbang keluar masuk
pedagang-pedagang nusantara.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia
menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam
bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat,
teori Makkah dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang
permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku
penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
1.
Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori
ini adalah:
a. Kurangnya
fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan
dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay –
Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya
batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak
khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat,
lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu
adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo
dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2.
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan
terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir). Dasar
teori ini adalah:
a. Pada
abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan
Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan
perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
b. Kerajaan
Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i
terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah
penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja
Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W.
Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah
berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh
sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13
dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan
budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
a. Peringatan
10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad,
yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan
tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai
dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan
ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al –
Hallaj.
c. Penggunaan
istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda bunyi
Harakat.
d. Ditemukannya
makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya
perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu
Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki
kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7
dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam
penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
2.2 PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA PADA MASA
KERAJAAN-KERAJAAN
Islam dimulai di wilayah ini lewat kehadiran
Individu-individu dari Arab, atau dari penduduk asli sendiri yang telah memeluk
Islam. Dengan usaha mereka. Islam tersebar sedikit demi sedikit dan secara
perlahan-lahan. Langkah penyebaran islam mulai dilakukan secara besar-besaran
ketika dakwah telah memiliki orang-orang yang khusus menyebarkan dakwah.
Setelah fase itu kerajaan-kerajaan Islam mulai terbentuk di kepulauan ini.
Diantara kerajaan-kerajaan terpenting adalah sebagai berikut:
1.
Kerajaan Malaka (803-917
H/1400-1511M)
Malaka dikenal sebagai pintu gerbang Nusantara. Sebutan ini
diberikan mengingat peranannya sebagai jalan lalulintas bagi pedagang-pedagang
asing yang berhak masuk dan keluar pelabuahan-pelabuhan Indonesia. Letak
geografis Malaka sangat menguntungkan, yang menjadi jalan sialng anntara
AsiaTimur dan asia Barat.
Dengan letak geografis yang demikian membuat Malaka menjadi kerajaan
yang berpengaruh atas daerahnya. Setelah Malaka menjadi kerajaan Islam, para
pedagang, mubaligh, dan guru sufi dari negeri Timur Tengah dan India makin
ramai mendatangi kota Bandar Malaka. Dari bandar ini, Islam di bawa ke pattani
dan tempat lainnya di semenanjung seperti Pahang, Johor dan perlak.
Kerajaan Malaka menjalin hubungan baik dengan Jawa,
mengingat bahwa
Malaka
memerlukan bahan-bahan pangan dari Jawa. Di mana hal ini untuk memenuhi
kebutuhan kerajaannya sendiri. Persediaan dalam bidang pangan dan rempah-rempah
harus selalu cukup untuk melayani semua pedagang-pedagang. Begitu pula
pedangan-pedagang Jawa juga membawa rempah-rempah dari Maluku ke Malaka. Selain
dengan Jawa, Malaka juga menjalin hubungan dengan Pasai. Pedagang-pedangan
Pasai membawa lada ke pasaran Malaka. Dengan kedatanganpedagang Jawa dan Pasai,
maka perdagangan di Malaka menjadi ramai dan lebih berarti bagi para pedagang
Cina. Selain dalam bidang ekonomi, Malaka juga maju dalam bidang keagamaan.
Banyak alim ulama datang dan ikut mengembangkan agama Islam di kota ini.
Penguasa Malaka dengan sendirinya sangat besar hati.
Meskipun penguasa belum memeluk agama Islam namun pada abad
ke-15 mereka telah mengizinkan agama Islam berkembang di Malaka.
Penganut-penganut agama Islam diberi hak-hak istimewa bahkan penguasa
membuatkan bangunan masjid. Kesultanan Malaka mempunyai pengaruh di daerah
Sumatera dan sekitarnya, dengan mempengaruhi daerah-daerah tersebut untuk masuk
Islam seperti: Rokan, Kampar, India Giri dan Siak. Dan kesultanan Malaka
merupakan pusat perdaganganinternasional antara Barat dan Timur, pelabuhan
transit. Maka dengan didudukinya Kesultanan Malaka oleh Portugis tahun 1511,
maka kerajaan di Nusantara menjadi tumbuh dan berkembang karena jalur Selat
Malaka tidak digunakan lagi oleh pedagang Muslim sebab telah diduduki oleh
Portugis.
Dengan demikian tidaklah akan dicapai kemajuan oleh kerajaan
Malaka jika kerajaan itu tidak mempunyai peraturan-peraturan tertentu, yang
memberi jaminan lumayan kepada keamanan perdagangan. Seperti contohnya aturan
bea cukai, aturan tentang kesatuan ukuran, sistem pemakaian uang logam dan
sebagainya. Di samping aturan yang diterapkan juga sistem pemerintahannya
sangat baik dan teratur.
2. Kerajaan Aceh (920-1322 H/1514-1904 M)
Pada abad ke-16, Aceh mulai memegang peranan penting dibagin
utara pulau Sumatra. Pengaruh Aceh ini meluas dari Barus di sebelah utara
hingga sebelah selatan di daerah Indrapura. Indrapura sebelum di bawah pengaruh
Aceh, yang tadinya merupakan daerah pengaruh Minangkabau. Yang menjadi pendiri
kerajaanAceh adalah Sultan Ibrahim (1514-1528), ia berhasil melepaskan Aceh
dari Pidie.
Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini menjadi bagian
wiliyah Aceh dan pergantian agama diperkiraan terjadi mendekati pertengahan
abad ke-14. Kerajaan Aceh yang letaknya di daerah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten
Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Aceh mengalami kemajuan ketika
saudagar-saudagar Muslim yang sebelumnya dagang di Malaka kemudian memindahkan
perdagangannya ke Aceh, ketika Portugis menguasai Malaka tahun 1511. Ketika Malaka di kuasa Portugis tahun 1511,
maka daerah pengaruhnya yang terdapat di Sumatera mulai melepaskan diri dari
Malaka. Hal ini sangat menguntungkan kerajaan Aceh yang mulai berkembang. Di
bawah kekuasaan Ibrahim, kerajaaan Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke
daerah-daerah sekitarnya. Operasi-operasi militer diadakan tidak saja dengan
tujuan agama dan politik, akan tetapi juga dengan tujuan ekonomi.
Kebesaran kerajaan
Aceh ketika diperintah oleh Alauddin Riayat Syah. Kekuasaannya sampai ke
wilayah Barus. Dua putra Alauddin Riayat Syah kemudian diangkat menjadi Sultan
Aru dan sultan Parlaman dengan nama resmi Sultan Ghori dan Sultan Mughal. Dalam
menjaga keutuhan kerajaan Aceh, maka di mana-mana di daerah pengaruh kekuasaan
Aceh terdapat wakil-wakil Aceh. Aceh menjalin hubungan yang baik dengan Turki
dan negara-negara Islam lain di Indonesia, hal ini terbukti di mana ketika Aceh
mengahadapi balatentara Portugis Aceh meminta bantuan Turki tersebut. Dalam
membangun aggkatan perangnya yang baik hal ini pun berkat bantuan Turki.
Kejayaan kerajaan Aceh pada puncaknya ketika diperintahkan
oleh Iskandar Muda. Ia mampu menyatukan kembali wilayah yang telah memisahkan
diri dari Aceh ke bawah kekuasaannya kembali.
Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan Barat
Sumatera. Dari Aceh tanah Gayo yang berbatasan di Islamkan, juga Minangkabau.
Dimasa pemerintahannya, Sultan Iskandar muda tidak bergantung kepada Turki
Usmani. Untuk mengalahkan Portugis, Sultan kemudian bekerjasama dengan musuh
Portugis, yaitu Belanda dan Inggris.
Setelah Iskandar Muda digantikan oleh penggantinya, Iskandar
Tsani, bersikap lebih libeh, lembut dan adil. Pada masanya, Aceh terus
berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama maju dengan pesat. Akan
tetap tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana tahun 1641-1699,
beberapa wilayah taklukannya lepas dan kesultanan menjadi terpecah belah. Pada
abad 18 Aceh hanya sebagai kenangan masa silam dari bayngannya sendiri.
Akhirnya kesultanan Aceh menjadi mundur.
3. Kerajaan Demak ( 918- 960 H/ 1512-1552 M)
Di Jawa Islam di sebarkan oleh para wali songo (wali
sembilan), mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga
dalam hal pemerintahan dan politik, bahkan sering kali seorang raja seolah-olah
baru sah seorang raja kalau ia sudah diakui dan diberkahi wali songo. Para wali
menjadikan Demak sebagai pusat penyebaran Islam dan sekaligus menjadikannya
sebagai kerajaan Islam yang menunjuk Raden Patah sebagai Rajanya. Kerajaan ini
berlangsung kira-kira abad 15 dan abad 16 M. Di samping kerajaan Demak juga
berdiri kerajaan-kerajaan Islam lainnya seperti Cirebon, Banten dan Mataram.
Demak merupakan salah satu kerajaan yang bercorak Islam yang
berkembang di pantai utara Pulau Jawa. Raja pertamanya adalah Raden Patah.
Sebelum berkuasa penuh atas Demak, Demak masih menjadi daerah Majapahit. Baru
Raden Patah berkuasa penuh setelah mengadakan pemberontakan yang dibantu oleh
para ulama atas Majapahit. Dapat dikatakan bahwa pada abad 16, Demak telah
menguasai seluruh Jawa. Setelah Raden Patah berkuasa kira-kira diakhir abad
ke-15 hingga abad ke-16, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Pati Unus. Dan
kemudian digantikan oleh Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati dengan
gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1546 dan berhasil
menguasai beberapa daerah.
Perkembangan dan kemajuan Islam di pulau Jawa ini bersamaan
dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal ini memberi peluang kepada
raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat-pusat kekuasaan yang
independen. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan yang
tertua dari wali Songo.
Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai
keraton pusat. Kerajaan Demak menempatkan pengaruhnya di pesisir utara Jawa
Barat itu tidak dapat dipisahkan dari tujuannya yang bersifat politis dan
ekonomi. Politiknya adalah untuk mematahkan kerajaan Pajajaran yang masih
berkuasa di daerah pedalaman, dengan Portugis di Malaka.
4. Kerajaan Banten (960-1096 H/1552-1684 M)
Banten merupakan kerajaan Islam yang mulai berkembang pada
abad ke-16, setelah pedagang-pedagang India, Arab, persia, mulai menghindarai
Malaka yang sejak tahun 1511 telah dikuasai Portugis. Dilihat dari geografinya,
Banten, pelabuhan yang penting dan ekonominya mempunyai letak yang strategis
dalam penguasa Selat Sunda, yang menjadi uratnadi dalam pelayaran dan
perdagangan melalui lautan Indoneia di bagian selatan dan barat Sumatera.
Kepentingannya sangat dirasakan terutama waktu selat Malaka di bawah pengawasan
politik Portugis di Malaka.
Sejak sebelum kedatangan Islam, ketika berada di bawah
kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran), Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Pada tahun 1524 Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakan dasar bagi
pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi perdagangan orang-orang Islam
di sana.
Kerajaan Islam di Banten yang semula kedudukannya di Banten
Girang dipindahkan ke kota Surosowan, di Banten lama dekat pantai. Dilihat dari
sudut ekonomi dan politik, pemindahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan
antara pesisir utara Jawa dengan pesisir Sumatera, melalui selat sunda dan
samudra Indonesia. Situasi ini berkaitan dengan kondis politik di Asia Tenggara
masa itu setelah malaka jatuh ke tangan Portugis, para pedagang yang segan
berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda.
Tentang keberadaan Islam di Banten, Tom Pires menyebutkan,
bahwa di daerah Cimanuk, kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda dengan
Cirebon, banyak dijumpai orang Islam. Ini berarti pada akhir abad ke-15 M
diwilayah kerajaan Sunda Hindu sudah ada masyarakat yang beragama Islam. Karena
tertarik dengan budi pekerti dan ketinggian ilmunya, maka Bupati Banten
menikahkan Syarif Hidayatullah dengan adik perempuannya yang bernama Nhay
Kawunganten. Dari pernikahan ini Syaraif Hidayatullah dikaruniai dua anak yang
diberi nama Ratu winaon dan Hasanuddin. Tidak lam kemudian, karena panggilan
uwaknya, Cakrabuana, Syarif Hidayatullah berangkat ke Cirebon menggantika
umawknya yang sudah tua.
Sedangkan tugas penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada
anaknya yaitu Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikahi puteri Demak dan
diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. ia meneruskan usaha-usaha
ayahnya dalam meluaskan daerah Islam, yaitu ke Lampung dan sekitarnya di
Sumatera Selatan. Pada tahun 1568, disaat kekuasaan Demak beralih ke Pajang,
Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap
sebagai seorang raja Islam yang pertama di Bnaten. Banten sejak semula memang
merupakan vassal dari Demak.
Pada masa kekuasaan Maulana Hasanuddin, banyak kemajuan yang
dicapai Banten dalam segala bidang kehidupan. Maulana Hasanuddin wafat pada
tahun 1570 dan di makamkan di samping Masjid Agung. Untuk meneruskan
kekuasaannya beliau digantikan oleh anaknya yaitu Maulana Yusuf.
Pada masa pemerintahan dijalankan oleh Maulana Yusuf,
strategi pembangunan lebih dititikberatkan pada pengembangan kota, keamanan
wilayah, perdagangan dan pertanian. Di tahun 1579 Maulana Yusuf dapat
menaklukan Pakuan, ibukota kerajaan Pajajaran yang belum Islam yang waktu itu
masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Maulana Yusuf
meninggal dunia pada tahun 1580, dan di makamkan di pakalangan Gede dekat
kampung kasunyatan. Setelah meninggalnya Maulana Yusuf, pemerintahan
selanjutnya di teruskan oleh anaknya yaitu Muhammad yang masih muda belia.
Selama Maulana Muhamad masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang
oleh qadhi. Maulana Muhamad terkenal sebagai orang yang saleh. Untuk
kepentingan penyebaran agama Islam ia banyak mengarang kitab-kitab agama yang
kemudian dibagikan kepada yang membutuhkannya. Pada masa pemerintahannya Masjid
Agung yang terletak di tepi alun-alun diperindahnya. Tembok masjid dilapisi
dengan porselen dan tiangnya dibuat dari kayu cendana. Untuk tempat solat perempuan
dibuatkan tempat khusus yang disebut pawestren atau pawedonan. Maulana Muhamad
meninggal tahun 1596 M, ketika sedang mengadakan penyerangan terhadap
Palembang. Pemerintahan Banten kemudian di pegang oleh anak Maulana Muhammad
yang bernama Sultan Abdul Mufakir Mahmud Abdulkadir, dinobatkan pada usia 5
bulan. Dan untuk menjalankan roda pemerintahannya ditunjuk Mangkubumi
Jayanagara sebagai walinya. Ia baru aktif memegang kekuasan pada tahun 1626.
Pada tahun 1651 ia meninggal dunia, dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath
Abdulfath. Pada masa pemerintahannya pernah terjadi beberapa kali peperangan
antara Banten dengn VOC, dan berakhir dengan perjanjian
damai tahun 1659 M
5. Kerajaan Goa (Makasar) (1078 H/1667 M)
Kerajaan yang bercorak Islam di Semenanjung Selatan Sulawesi
adalah Goa-Tallo, kerajaan ini menerima Islam pada tahun 1605 M. Rajanya yang
terkenal dengan nama Tumaparisi-Kallona yang berkuasa pada akhir abad ke-15 dan
permulaan abad ke-16. Ia adalah memerintah kerajaan dengan peraturan memungut
cukai dan juga mengangkat kepala-kepala daerah.
Kerajaan Goa-Tallo menjalin hubungan dengan Ternate yang
telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Penguasa Ternate mengajak penguasa
Goa-tallo untuk masuk agama Islam, namun gagal. Islam baru berhasil masuk di
Goa-Tallo pada waktu datuk ri Bandang datang ke kerajaan Goa-Tallo. Sultan
Alauddin adalah raja pertama yang memeluk agama Islam tahun 1605 M.
Kerajaan Goa-Tallo mengadakan ekspansi ke Bone tahun 1611,
namun ekspansi itu menimbulkan permusuhan antara Goa dan Bone. Penyebaran Islam
yang dilakukan oleh Goa-Tallo berhasil, hal ini merupakan tradisi yang
mengharuskan seorang raja untuk menyampaikan hal baik kepada yang lain. Seperti
Luwu, Wajo, Sopeng, dan Bone. Luwu terlebih dahulu masuk Islam, sedangkan Wajo
dan Bone harus melalui peperangan dulu. Raja Bone yang pertama masuk Islam
adalah yang dikenal Sultan Adam.
6. Kerajaan Maluku
Kerajaan Maluku terletak dibagian daerah Indonesia bagian
Timur. Kedatangan Islam keindonesia bagian Timur yaitu ke Maluku, tidak dapat
dipisahkan dari jalan perdagangan yang terbentang antara pusat lalu lintas
pelayaran Internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Diceritakan bahwa pada abad
ke-14 Raja ternate yang keduabelas, Molomateya, (1350-1357) bersahabat baik
dengan orang Arab yang memberikan petunjuk bagaimana pembuatan kapal-kapal,
tetapi agaknya bukan dalam kepercayaan. Manurut tradisi setempat, sejak abad
ke-14 Islam sudah datng di daerah Maluku. Pengislaman di daerah Maluku, di bawa
oleh maulana Husayn. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Marhum di Ternate.
Raja pertama yang benar-benar muslim adalah Zayn Al- Abidin
(1486-1500), Ia sendiri mendapat ajaran agama tersebut dari madrasah Giri.
Zainal Abidin ketika di Jawa terkenal sebagai Raja Bulawa, artinya raja
cengkeh, karena membawa cengkeh dari Maluku untuk persembahan. Sekembalinya
dari jawa, Zainal abidin membawa mubaligh yang bernama Tuhubabahul. Yang
mengantar raja Zainal Abidin ke Giri yang pertama adalah Jamilu dari Hitu.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Giri di Jawa Timur sangat erat.
Tentang masuknya Islam ke Maluku, Tome Pires mengatakan
bahwa kapalkapal dagang dari Gresik ialah milik Pate Cucuf. Raja ternate yang
sudah memeluk Islam bernama Sultan Bem Acorala, dan hanyalah raja ternate yang
disebut sultan sedang yang lainnya digelari raja. Dijelaskan bahwa ia sedang
berperang dengan mertuanya yang menjadi raja Tidore yang bernama Raja Almancor.
Di Banda, Hitu, Maluku dan Bacan sudah terdapat masyarakat
Muslim. Di daerah Maluku itu raja yang mula-mula masuk Islam sebagaimana
dijelaskan Tome Pires sejak kira-kira 50 tahun yang lalu, berarti antara
1460-1465. Tahun tersebut boleh dikatakan bersama dengan berita antonio Galvano
yang mengatakan bahwa Islam di daerah ini di mulai 80 atau 90 tahun yang lalu
yang kalau dihitung dari waktu Galvano di sana sekitar 1540-1545 menjadi
1460-1465.
Karena usia Islam masih muda di Ternate, Portugis yang
sampai di sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya dengan agama
Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya mendatangkan hasil yang
sedikit. Dalam proses Islamisasi di Maluku menghadapi persaingan politik dan
monopoli perdagangan diantara orang-orang Portugis, Spanyol, Belanda dan
Inggris. Persaingan diantara pedagang-pedagang ini pula menyebabkan persaingan
diantara kerajaan-kerajaan Islam sendiri sehingga pada akhirnya daerah Maluku
jatuh ke bawah kekuasaan politik dan ekonomi kompeni Belanda.
2.3 PERUBAHAN DAN
KESINAMBUNGAN BUDAYA
Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi,
tetapi kemudian muncul masjid, surau, dan makam. Sistem kasta di dalam
masyarakat dihapus, arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi
dibuat. Para seniman ukir kemudian
menekuni pembuatan kaligrafi,
mengembangkan ragam hias flora dan geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan tata ruang baru. Bahkan pada abad XVII M Sultan Agung
memunculkan kalender Jawa, yang pada dasarnya merupakan “perkawinan” antara
kalender Çaka dan Hijriyah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat
dikotak-kotakkan, sehingga terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang
inovatif sifatnya. Masjid dan cungkub makam mengambil bentuk atap tumpang,
seperti Masjid Agung Demak, yang bentuk dasarnya sudah dikenal pada masa
sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief candi. Demikian pula menara
masjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di Masjid Menara di Kudus.
Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa Timur yang langsing dan
tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa bangunan terbuka,
relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief diganti
dengan tempelan piring porselin.
Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indonesia kala
itu, karenanya tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk
karya seni. Nisan makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan
makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda yang diimpor dalam
bentuk jadi, sebagaimana tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan
jenis ornamentasi yang digunakan. Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di
Indonesia oleh seniman-seniman setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam
hias yang digunakan, misalnya lengkung kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman
raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) di atas jirat ada patung orang
yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak pernah terjadi di tempat lain.
Pada tata kota, terutama kota kerajaan di Jawa, juga dapat
dilihat adanya perubahan dan kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut
ada alun-alun, kraton, masjid agung, dan pasar yang ditata menurut pola
tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan lain, serta permukiman
penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok sesuai dengan jenis pekerjaan,
asal, dan status sosial.
2.4 SITUASI DAN KONDISI
POLITIK PEMERINTAHAN
a. Di Sumatera
Pada saat Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada
abad ke-7 sampai ke-9 Masehi, sebenarnya Selat Malaka sudah mulai ramai dilalui
oleh pedagang-pedagang muslim, dalam pelayarannya ke negara-negara di kawasan
Asia Tenggara dan Asia Timur. Kedatangan orang-orang Islam ke Asia Tenggara dan
Asia Timur, pada awalnya belum terasa pengaruhnya, karena masih dalam taraf
penjajakan di bidang pelayaran dan perdagangan. Namun pada abad ke-9 M, ketika
para petani Cina Selatan mengadakan pemberontakan terhadap kekuasaan
pemerintahan Hi Tsung (878-778 M), dimana orang-orang muslim terlibat di
dalamnya, dan minta perlindungan ke Kedah, ternyata Kedah melindungi orangorang
muslim tersebut. Padahal saat itu Kedah masuk wilayah kekuasaan Sriwijaya. Pada
awal abad ke-16, daerah-daerah pesisir Sumatera Utara dan Timur Selat Malaka, yaitu
dari Aceh sampai Palembang, sudah banyak terdapat masyarakat dan kerajaan-kerajaan
Islam.
b. Di Pulau Jawa
Masuknya pengaruh Islam pertama kalinya ke Pulau Jawa, belum
dapat diketahui dengan pasti. Namun Batu Nisan Kubur Fatimah binti Maimun di
Leran Gresik yang berangka tahun 475 H (1082 M), barangkali merupakan bukti
nyata kedatangan Islam ke Jawa Timur. Namun bukan berarti sudah terjadi proses
masuknya pengaruh Islam yang luas di Jawa.
Proses Islamisasi di Jawa Timur sudah terjadi semenjak
kejayaan Majapahit. Hal ini dapat diketahui dari penemuan puluhan nisan kubur
di Troloyo, Trowulan, dan Gresik, serta berita Ma-huan tahun 1416 yang
menceritakan orang-orang muslim yang bertempat tinggal di Gresik. Hal ini
membuktikan bahwa di pusat Kerajaan Majapahit maupun di pesisir, terutama di
kotakota pelabuhan, telah terjadi proses Islamisasi dan terbentuknya masyarakat
muslim waktu itu.
Ketika Majapahit masih dipimpin oleh Hayam Wuruk dan Gajah
Mada, situasi politik di daerah kekuasaan Majapahit cenderung tenang dan semua
raja bawahan patuh dan mengakui kedaulatan Majapahit. Namun ketika kedua tokoh
itu wafat, yaitu Gajah Mada pada 1364 dan Hayam Wuruk pada 1389, situasi
politik berubah total. Majapahit semakin lemah, dan raja-raja bawahan mulai
melepaskan diri. Ini merupakan peluang bagi penyebaran agama Islam.
Meskipun Kerajaan Hindu yang besar di Kediri sudah tumbang
pada tahun 1526, namun kerajaan-kerajaan kecil di Pasuruan dan Panarukan dengan
pusatnya di Blambangan belum Islam. Pasuruan baru tunduk kepada Islam sejak
tahun 1546, ketika diserang Demak pimpinan Trenggana. Pajajaran baru jatuh ke
tangan muslim pada tahun 1579/1580 karena serangan dari Kerajaan Banten.
c. Di Sulawesi
Di Sulawesi, beberapa raja yang resmi masuk Islam adalah
sebagai berikut.
·
Raja Gowa dan Tallo resmi masuk
Islam pada 22 September 1605.
·
Raja Wajo resmi masuk Islam pada 10
Mei 1610.
·
Raja Bone resmi masuk Islam pada 23
Nopember 1611.
d. Di Maluku
Kedatangan Islam ke Indonesia bagian timur, yaitu ke daerah
Maluku, tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan yang terbentang antara
pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan Maluku. Hal ini
yang mengakibatkan di Banda, Hitu, Haruku, Makyan, dan Bacan, sudah terdapat
masyarakat muslim. Akibat persaingan dalam perdagangan, akhirnya Maluku jatuh
di bawah kekuasaan politik dan ekonomi Kompeni Belanda.
e. Di Kalimantan
Di Kalimantan Selatan, pengaruh Islam mulai masuk ketika ada
perebutan kekuasaan antarkeluarga kerajaan, dan minta bantuan Demak untuk
menyelesaikannya. Proses Islamisasi di Banjarmasin terjadi pada tahun 1550. Di
Kalimantan Timur, proses Islamisasi terjadi sekitar tahun 1575.
2.5 SITUASI DAN KONDISI SOSIAL BUDAYA
Pada masa kedatangan Islam, di Indonesia terdapat beragam
suku bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi dan sosial budaya. Suku
bangsa di pedalaman, Perkembangan pada Masa Islam di Indonesia belum banyak
mengalami percampuran jenis bangsa dan budaya dari luar. Struktur ekonomi dan
sosial budaya cenderung statis dibandingkan dengan mereka yang bertempat
tinggal di daerah pesisir. Lebih-lebih mereka yang tinggal di kotakota pelabuhan.
Pada awal penyebaran Islam di Indonesia masih berdiri kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha, yaitu Sriwijaya dan Melayu di Sumatera, Majapahit dan Pajajaran
di Jawa, Nagara-Daha dan Kutai di Kalimantan. Di samping itu di Sulawesi
terdapat kerajaan-kerajaan yang tidak tersentuh pengaruh Hindu- Buddha, antara
lain Gowa, Wajo, Bone, dan puluhan kerajaan
lagi yang hidup subur yang masih menyembah berhala. Di Maluku ada
kelompok masyarakat yang belum Islam, tetapi juga tidak kena pengaruh
Hindu-Buddha. Di pedalaman Banda masih menganut berhala. Di Pedalaman Kalimantan
budayanya masih menunjukkan pra Hindu dan pra Islam. Di beberapa daerah,
meskipun budaya asing dan agama telah masuk ke Indonesia, namun itu hanya lapisan tipis di luarnya saja,
sedang yang ada di dalamnya adalah seluruh bentuk asli dan kuno yang masih
tetap ada dan masih terus berlanjut.
Ketika Islam masuk ke Indonesia, masing-masing daerah
menggunakan bahasa daerahnya sendiri, seperti di Jawa menggunakan bahasa Jawa
Kuno dan Sunda Kuno; di Sumatera dengan bahasa Melayu, Batak, Kubu, Nias, Minangkabau,
dan Padang di Kalimantan dengan bahasa Melayu, Banjar, Dayak, di Sulawesi
menggunakan bahasa Bugis, Makassar, dan masih banyak lagi.
Sampai dengan abad ke-20, daerah yang dipengaruhi dan tidak
dipengaruhi Islam di Indonesia sebagai berikut.
·
Di Sumatera, hampir seluruh
wilayahnya sudah dipengaruhi Islam, kecuali sebagian daerah Batak di Sumatera
Utara.
·
Di Pulau Jawa, seluruh wilayahnya
sudah dipengaruhi Islam.
·
Di Kalimantan, hampir seluruh
wilayahnya sudah dipengaruhi Islam, kecuali daerah pedalaman.
·
Di Sulawesi, hampir seluruh
wilayahnya sudah dipengaruhi Islam, kecuali sebagian Sulawesi Utara agama Kristen
cukup kuat. Namun kerukunan umat beragama di Sulawesi Utara sangat baik.
·
Di Bali dan Nusa Tenggara Barat
maupun Timur, Islam sudah banyak dianut masyarakat, namun pengaruh Hindu masih
sangat kuat.
Pada masyarakat Lombok hingga kini ada yang dinamakan Sembahyang
Waktu Telu, yaitu melakukan sembahyang hanya tiga kali saja sehari (bukan
sembahyang
lima waktu lazimnya orang Islam).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim
mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di
suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada
kontak dengan kebudayaan lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar.
Hubungan antara para pendukung dua kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang
lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak
pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsur-unsur kedua
kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsurunsurnya masih dapat dikenali
dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada
dalam kebudayaan induknya.
Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali
terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia.
Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam (
kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan
bertahap.
Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan
serta konflik. Akan tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju
akulturasi. Faktor pendukung terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta
kelenturan kebudayaan pemberi dan penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan
pra-Islam. Salah satu contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga memicu
kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-hasil budaya baru yang sebelumnya
belum pernah ada, juga way of life baru.
Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan
sehingga terbentuk kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu difikirkan bagaimana pengembangannya
pada masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus
dilakukan pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya
tidak terjadi stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah
dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya
kebudayaan yang sudah ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun tetap dengan cirri-
ciri tersendiri. Hasil akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai
dalam perkembangan kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai
tersebut tetap kelihatan nyata, harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi
atas warisan-warisan budaya Indonesia.
Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak
warisan budaya yang terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya
kepedulian dan pengertian masyarakat Indonesia sendiri.
3.2 SARAN
Adapun saran yang dapat disampaikan oleh pemakalah adalah sbb :
1.
Diharapkan setelah kami mendiskusikan makalah ini di
depan teman-teman, teman-teman dapat
memahaminya dengan baik.
2.
Semoga
dengan adanya tugas makalah dan kami
semua bisa mengetahui tentang proses masuk dan berkembangnya agama dan budaya
islam di indonesia.
3.
Diharapkan
kepada ibu dosen. Sering-seringlah memberikan tugas-tugas kepada kami.
Saya
sangat membutuhkan saran-saran dan kritik dari teman-teman sekalian dan
terutama ibu dosen. Agar lebih mendapat pengetahuan lebih dalam lagi.
DAFTAR PUSTAKA
GOOGLE (http://www.berryhs.com/2011/06/download-makalah-proses-masuk-dan.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar